Di tengah arus informasi yang semakin deras, manusia hari ini tampaknya semakin lihai mengkritisi berbagai persoalan duniawi—ekonomi, teknologi, hiburan, hingga tren-tren media sosial. Mereka mampu berdebat panjang soal harga kebutuhan pokok, membedah kebijakan pemerintah atau ikut andil dari kebijakan pemerintah tersebut, bahkan menilai strategi bisnis. Namun, ironisnya, ketika pembahasan beralih pada urusan umat, agama, dan akhirat, lidah mereka tiba-tiba kelu, pikiran menjadi tumpul, dan seolah tidak ada urgensi untuk mengkajinya.
Fenomena ini adalah cermin nyata dari sekularisme, sebuah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sekularisme mengajarkan bahwa agama hanya urusan privat antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan urusan publik seperti politik, pendidikan, ekonomi, dan hukum boleh diatur tanpa campur tangan wahyu. Pemikiran ini diam-diam telah menggerogoti umat Islam, bahkan di tempat yang kita sangka "Islam" sekalipun.
Allah ﷻ sudah memperingatkan:
> يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah: 208)
Ayat ini jelas menegaskan bahwa Islam tidak boleh diambil sepotong-sepotong. Tidak bisa kita hanya rajin shalat dan puasa, tetapi cuek terhadap hukum Islam dalam muamalah, pendidikan, politik, dan sosial. Justru ketika urusan umat diabaikan, celah untuk kebatilan makin terbuka lebar.
Kebodohan berpikir itu muncul ketika seseorang mampu mengkritisi soal urusan yang sifatnya duniawi, tapi tidak peduli ketika riba merajalela di bank-bank. Mampu ribut soal aturan main sepak bola atau voli, tapi diam seribu bahasa saat hukum Allah dicampakkan. Mampu menilai strategi marketing perusahaan, tapi enggan mengkaji bagaimana seharusnya sistem ekonomi Islam berjalan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan kami (agama) ini yang bukan berasal darinya, maka perkara itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengingatkan bahwa urusan agama harus diatur sesuai wahyu, bukan menurut hawa nafsu atau standar sekuler. Maka, jika kita menganggap urusan umat hanyalah "opsional" dan tidak ada kaitan dengan agama, kita telah terjebak dalam perangkap pemikiran yang salah kaprah.
Sekularisme memang lihai membentuk pola pikir “terkotak”. Urusan ibadah? Silakan ke masjid. Urusan sosial, politik, dan ekonomi? Serahkan pada manusia, jangan bawa-bawa agama. Inilah akar dari mentalitas yang hanya kritis pada duniawi tapi lumpuh pada urusan umat.
Padahal, para ulama salaf mengajarkan bahwa iman itu mencakup keyakinan, ucapan, dan amal, yang semuanya harus tunduk pada aturan Allah. Tidak ada satu pun bidang kehidupan yang boleh lepas dari kendali syariat. Bahkan sekecil urusan berpakaian, makan, dan minum pun diatur—apalagi perkara yang menyangkut nasib jutaan umat.
Mereka yang hanya sibuk mengkritisi duniawi tapi abai pada urusan umat, sebenarnya sedang memelihara kelemahan kolektif. Sebab, selama umat Islam tidak peduli pada penerapan syariat secara kaffah, selama itu pula kerusakan akan terus merajalela, meski secara teknologi dan ekonomi tampak maju.
Allah ﷻ berfirman:
> وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْكَـٰفِرُونَ
"Barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir." (QS. Al-Ma’idah: 44)
Ayat ini bukan hanya tentang penguasa, tapi juga peringatan bagi umat agar tidak meremehkan hukum Allah dalam kehidupan bersama.
Kini saatnya umat Islam keluar dari kebodohan berpikir ini. Kita harus kritis pada segala hal, termasuk urusan umat yang bersifat strategis dan menyeluruh. Kritis bukan sekadar agar terlihat cerdas di dunia, tapi agar kita selamat di akhirat. Kritis bukan sekadar soal isu politik duniawi, tapi juga pada bagaimana Islam memerintahkan kita mengatur kehidupan.
---
Hikmah & Harapan
Kritis pada urusan duniawi itu baik, namun akan menjadi sia-sia jika tidak disertai kepedulian pada urusan umat yang lebih besar. Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, dan kita hanya akan mulia jika kembali menerapkan syariat-Nya secara kaffah. Semoga Allah membimbing kita untuk keluar dari belenggu sekularisme dan menguatkan kita dalam perjuangan menegakkan Islam di seluruh lini kehidupan.
Wallahu a’lam bish-shawab
ALLAHU AKBAR!!!
Posting Komentar untuk "Bentuk Kebodohan dalam Berpikir: Mampu Kritis Soal Urusan Duniawi yang Bersifat Sekuler, tapi Tidak Mampu Kritis atas Urusan Umat‼️"