Banyak orang mengira bahwa selama sebuah sekolah, kampus, atau pesantren menyandang nama “Islam”, maka secara otomatis seluruh isi dan orientasinya akan lurus di atas tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah. Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak selalu demikian. Kita menemukan tidak sedikit lembaga pendidikan Islam yang justru menjadi sarana penyebaran ide-ide sekuler dan liberal, meski sering dibungkus dengan bahasa indah seperti “modernisasi”, “toleransi”, atau “pengembangan wawasan global”.
Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Di ranah pendidikan, dampaknya sangat jelas: syariat dianggap hanya berlaku di masjid atau pelajaran fiqih, sementara di kegiatan lain agama seolah tidak punya kuasa. Liberalisme menambah kerusakan dengan mendorong kebebasan tanpa batas dengan dalih berfikir kritis, sehingga aturan Islam tentang aurat, pergaulan, dan moral dianggap menghalangi kreativitas. Akhirnya kita melihat pemandangan memprihatinkan: ikhtilat (campur baur laki-perempuan) yang bebas, pakaian yang membuka aurat, bahkan berjoget ria untuk acara atau konten media sosial—semua dilakukan tanpa rasa bersalah.
Rasulullah ﷺ sudah memperingatkan umatnya:
> "وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا"
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
(QS. Al-Isra: 32)
Celakanya, fenomena ini bukan hanya soal kelalaian individu, tetapi juga sistemik. Ada lembaga yang sebenarnya tahu aturan Islam, tapi memilih menutup mata demi mempertahankan citra “ramah” di mata publik atau mengikuti arahan sponsor dan mitra. Bahkan, tak jarang pengelolanya memiliki hubungan politik dengan pihak tertentu, entah itu pemerintah atau lembaga donor yang punya agenda sekuler-liberal. Hubungan ini membuat mereka enggan bersuara tegas terhadap pelanggaran syariat karena takut kehilangan dukungan finansial atau posisi strategis.
Di sinilah kita menyaksikan “politik kampus” atau “politik sekolah” yang membungkam dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Para guru atau ustadz yang kritis sering dipinggirkan dengan alasan “mengganggu keharmonisan”, padahal mereka sedang berjuang menjaga kemurnian pendidikan. Sementara itu, program-program yang mendekatkan anak didik pada budaya Barat justru mendapat lampu hijau, dengan dalih pengembangan soft skill dan kreativitas.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa infiltrasi ideologi ini sering dibungkus dalam kurikulum resmi, seminar motivasi, bahkan lomba-lomba “kekinian” yang sebenarnya lebih menanamkan gaya hidup hedonis daripada membentuk akhlak Islami. Tak jarang, acara peringatan hari besar Islam pun ikut dicampur dengan unsur hiburan yang melanggar syariat—dari tarian campur-baur hingga fashion show yang membuka aurat.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka generasi muda yang diharapkan menjadi pemimpin umat justru akan tumbuh dengan kepribadian ganda: beridentitas “Islam” di KTP, namun berpikir dan berperilaku sesuai nilai-nilai Barat. Lembaga pendidikan Islam pun kehilangan fungsinya sebagai benteng peradaban dan berubah menjadi pabrik penghasil “Muslim sekuler” yang asing terhadap agamanya sendiri.
Hikmah & Harapan
Lembaga pendidikan Islam harus kembali ke jati diri: mendidik generasi yang berilmu, beriman, dan berakhlak mulia, dengan menjadikan Islam sebagai pedoman hidup yang komprehensif. Para pengelola, guru, dan siswa wajib bersama-sama melawan infiltrasi sekuler-liberal, meskipun itu berarti harus berseberangan dengan arus besar yang sedang populer. Kita harus berani berkata benar sekalipun pahit, dan menolak segala bentuk kompromi yang menggadaikan syariat demi kepentingan dunia.
Wallahu a’lam bish-shawab
ALLAHU AKBAR!
Posting Komentar untuk "Benarkah lembaga Pendidikan Islam pun bisa terpapar paham Sekulerisme Liberalisme? Kalo iya kenapa itu bisa terjadi!?"