Dalam keyakinan tradisional sebagian masyarakat Jawa, dikenal istilah weton, seperti Selasa Kliwon, Jumat Legi, atau malam Jumat Kliwon yang sering dianggap sakral, bahkan kadang menakutkan. Ada anggapan bahwa hari-hari itu membawa sial, celaka, atau justru keberuntungan. Inilah warisan budaya yang terus hidup, meskipun kadang sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang lurus.
Padahal, Islam datang untuk menghapus warisan tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus justru di tengah masyarakat Arab yang dulu juga terjebak dalam tahayul dan takhayul soal waktu, angka, atau benda. Mereka dulu menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, burung tertentu sebagai tanda celaka, dan hari-hari tertentu pantang untuk menikah atau bepergian. Namun Islam datang menyapu semua itu dengan cahaya tauhid.
Rasulullah bersabda:
> لَا طِيَرَةَ
“Tidak ada thiyarah (anggapan sial).”
(HR. Bukhari & Muslim)
Ini adalah bentuk penjagaan Islam terhadap kemurnian akidah. Bahwa semua hari itu baik, karena semuanya adalah ciptaan Allah:
> خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dia (Allah) menciptakan langit dan bumi dalam enam masa...” (QS. Al-A’raf: 54)
Tapi kenapa sih sampai sekarang masih banyak masyarakat Islam yang percaya hari sial atau malam mistis?
Di sinilah pengaruh kapitalisme-sekulerisme dan kolonialisme budaya masuk dengan licik. Banyak misionaris dan orientalis yang sengaja mem-framing seolah-olah Islam itu datang dari Arab lalu merusak budaya lokal. Padahal, Islam justru datang untuk menyucikan budaya, bukan memusnahkan. Budaya yang baik dipelihara, budaya yang bertentangan dengan tauhid—seperti TBC—dihapus. Tapi apa yang terjadi? Justru umat Islam dikondisikan untuk merasa “asing” dengan syariatnya sendiri. Lalu muncullah benturan antara “Islam dan Jawa,” padahal itu cuma ilusi adu domba lama peninggalan penjajah!
Mereka lebih suka masyarakat Islam percaya hari sial, weton, dan mitos ketimbang bangga dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka lebih suka orang takut pocong dan kuntilanak ketimbang takut meninggalkan salat dan riba. Semua ini adalah bentuk penjajahan spiritual yang dibungkus dengan budaya.
Islam tidak anti budaya, tapi Islam memfilter. Maka ketika kita bilang malam Jumat Kliwon itu bukan malam sial, bukan berarti kita tidak menghargai budaya. Tapi justru sedang menyelamatkan budaya dari jerat syirik dan tahayul.
Dan ketika kita live di malam Jumat Kliwon atau membahas mistis, bukan berarti kita mengkultuskan harinya. Tapi ini momen untuk meluruskan cara pandang umat. Bahwa tempat angker bukan tempat untuk ngomong semaunya, bukan karena takut jin, tapi karena adab. Kita jaga lisan bukan karena tunduk pada gaib, tapi karena taat pada syariat. Karena makhluk gaib itu ada di mana-mana, bukan cuma di tempat sepi. Yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya dengan iman, ilmu, dan adab.
---
Kesimpulan:
Semua hari itu baik. Semua malam itu ciptaan Allah. Islam datang bukan untuk menghapus budaya, tapi untuk menyucikannya dari TBC: Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat. Maka jangan biarkan kapitalisme dan sekulerisme menjauhkan kita dari syariat, lalu menyesatkan kita lewat mitos dan ketakutan palsu.
Mari lawan tahayul dengan tauhid. Lawan bid’ah dengan sunnah. Lawan khurafat dengan ilmu.
Dan ingat... tauhid itu bukan Arab-Araban, tapi jalan keselamatan sejak zaman nabi pertama hingga nabi terakhir.
Wallahu a'lam bissowab....
Takbir.! ALLAHU AKBAR..!!!
Posting Komentar untuk "Semua Hari / Weton Pada Hakikatnya Baik dalam Islam!!"