Sejarah Singkat Perubahan Kosakata Bahasa Jawa dari “A” Jadi “O”: Dulu Sultan Agung Suka Bahasa Arab

 

Kamis Kliwon, ١٠ Dzulqa'dah ١٤٤٦ H / 8 Mei 2025 M
🗓️Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT)

Mungkin banyak yang belum nyadar, ternyata bahasa Jawa yang kita pakai sekarang ini, apalagi yang khas Jogja dan Solo, itu mengalami perubahan cukup signifikan dari bentuk aslinya. Dulu itu, kosakata bahasa Jawa aslinya bukan berakhiran “O”, tapi “A”.


Contoh gampangnya:


Dulu disebutnya Gajah Mada, bukan Gajah Modo.


Kertanegara, bukan Kertonegoro.


Hamengkubuwana, bukan Hamengkubuwono.


Yogyakarta, bukan Yogjokarto.



Nah, perubahan dari “A” ke “O” ini ternyata ada latar belakang sejarahnya. Kata Ust. Salim A. Fillah—seorang ustadz dari Jogja yang sering ngisi kajian di Masjid Jogokariyan—beliau pernah jelasin, bahwa perubahan ini bermula dari kecintaan Sultan Agung Mataram terhadap bahasa Arab.


Waktu itu Sultan Agung bilang, “Kok apik yo…” pas mendengar pelafalan huruf-huruf Arab semacam خ، ر، ص، ض، ط، ظ، غ، ق yang diucapkan dengan bunyi mendekati “O” di akhir-akhirnya. Dari sinilah, pelan-pelan Sultan bikin standarisasi bahasa Jawa krama tinggi jadi akhiran “O”, karena beliau merasa itu lebih pantes, lebih halus, dan memang terinspirasi dari keindahan bahasa Arab, yang notabene adalah bahasa Al-Qur’an.


Tapi nggak semua daerah ngikutin standar baru ini. Ada satu wilayah yang tetap mempertahankan pake “A”, yaitu Banyumasan, alias wilayah ngapak: Tegal, Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, Brebes, bahkan sebagian Kuningan, Ciamis bagian timur, kota Banjar & Pangandaran juga wilayah Cirebonan di Jabar. Mereka tetap pakai “ngapa” bukan “ngopo”, tetap bilang "apa” bukan “opo…” karena daerah mereka berbatasan langsung dengan Jawa Barat, yang dominan bahasa Sunda. Jadi bisa jadi pengaruh kuat itu menjaga keaslian fonetik “A” mereka.


Jadi kesimpulannya, bahasa Jawa yang asli itu A, bukan O.

Dan kalau sekarang banyak orang merasa aneh denger orang ngapak, padahal justru yang ngapak itu lebih otentik. Lebih tua. Lebih jujur ke akar sejarah.


Nah sekarang yang menarik, apa hubungannya ini dengan Islam?


Kuat sekali hubungannya dengan Islam. Karena selain reformasi bahasa, Sultan Agung juga menyelaraskan kalender Jawa dengan kalender Hijriyah, lho. Bulan Sura misalnya, itu dari bulan Muharram. Kalender Jawa Islam hasil karya Sultan Agung itu adalah bentuk nyata upaya Islamisasi budaya Jawa. Bahkan dulu, Ahad atau Ngahad adalah sebutan hari pertama dalam seminggu. Tapi setelah penjajah masuk, diganti jadi Minggu—yang notabene berasal dari Eropa, artinya the Lord's day, alias harinya Tuhan Yesus menurut Kristen.


Jadi jangan heran, kalau penjajah Eropa, khususnya Belanda, masuk ke Jawa bukan cuma ngebajak rempah atau kekuasaan, tapi juga menjajah cara berpikir. Orang Jawa mulai ditanamkan rasa asing terhadap Islam. Seolah-olah Islam itu budaya Arab, bukan budaya kita. Padahal wong Sultan kita aja seneng boso Arab!


Bahkan sekarang, orang yang semangat menjalankan Islam secara kaffah malah disebut "kadrun", "ke-Arab-araban", seolah-olah Islam itu musuh budaya. Padahal yang mereka anggap "budaya Jawa" sekarang itu sebagian hasil produk sekulerisasi penjajah barat. Lihat aja sekarang, gelar “Khalifatullah” untuk Sultan Hamengkubuwono udah dihapus. Dulu Kesultanan Yogyakarta pernah diakui oleh Khilafah Utsmaniyah, lho!


Alun-alun Lor yang dulu jadi tempat syiar dakwah Islam dan pusat masyarakat, sekarang malah ditutup. Bahkan banyak simbol-simbol Islam yang perlahan dihilangkan atau dianggap "radikal" kalau diangkat lagi.


Padahal Islam itu sudah menyatu dengan Jawa. Islam bukan datang untuk menghapus budaya, tapi untuk menyucikannya. Meluruskan apa yang bengkok. Sama kayak kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia."

(HR. Ahmad)


Harapan untuk Umat Islam di Jawa

Sudah saatnya kita sadar. Islam itu bukan asing. Bukan musuh budaya. Justru Islamlah yang bikin Jawa punya jati diri. Yang bikin Sultan dulu berwibawa. Yang bikin masyarakat punya tauhid, punya arah, dan punya kehormatan.


Jangan mau terus ditakut-takuti dengan label “kadrun”, “radikal”, atau “ke Arab-Araban”. Wong Sultan Jawa aja dulu bangga kok dengan boso Arab!


Mari kita kembali kepada jati diri kita sebagai Muslim Jawa yang kaffah. Yang bangga dengan Islam, yang lurus memegang tauhid, dan tetap cinta tanah kelahirannya.


Takbir! Allahu Akbar!

Yuk sebarkan kesadaran ini… sebelum semuanya benar-benar hilang.

Wallahu a'lam bissowab...


Posting Komentar untuk "Sejarah Singkat Perubahan Kosakata Bahasa Jawa dari “A” Jadi “O”: Dulu Sultan Agung Suka Bahasa Arab"