Menjelang Idul Fitri, umat Islam di seluruh dunia bersiap untuk menunaikan zakat fitrah. Zakat adalah kewajiban dalam Islam yang bertujuan untuk menyucikan harta dan membantu kaum fakir miskin. Namun, di sisi lain, masyarakat juga terbebani oleh pajak, yang dalam sistem kapitalis dan sekuler menjadi sumber utama pendapatan negara.
Pertanyaannya, mengapa negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti Indonesia masih mengandalkan pajak? Dan lebih jauh lagi, apakah pajak dalam Islam itu dibolehkan?
---
Zakat: Instrumen Ekonomi yang Berkah
Dalam Islam, zakat adalah salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh umat Muslim yang mampu. Zakat berfungsi sebagai sistem distribusi kekayaan yang adil, membantu mengurangi kesenjangan sosial, dan membersihkan harta dari sifat tamak serta kikir. Allah ๏ทป berfirman:
> ุฎُุฐْ ู ِْู ุฃَู َْูุงِِููู ْ ุตَุฏََูุฉً ุชُุทَِّูุฑُُูู ْ َูุชُุฒَِِّูููู ุจَِูุง َูุตَِّู ุนََِْูููู ْ ۖ ุฅَِّู ุตََูุงุชََู ุณٌََูู َُّููู ْ ۗ َูุงَُّููู ุณَู ِูุนٌ ุนَِููู ٌ
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…"
(QS. At-Taubah: 103)
Zakat dibagi menjadi dua jenis utama:
1. Zakat Fitrah – Dikeluarkan menjelang Idul Fitri, sebagai bentuk penyucian bagi yang berpuasa.
2. Zakat Mal – Dikeluarkan dari harta yang telah mencapai nisab (batas minimum), seperti emas, perak, perdagangan, pertanian, dan sebagainya.
Dalam sistem Islam, zakat dikelola secara transparan dan diperuntukkan bagi delapan golongan yang disebut dalam Al-Qur'an:
> ุฅَِّูู َุง ูฑูุตَّุฏََٰูุชُ َُِْููููุฑَุงุٓกِ َููฑْูู َุณَِِٰููู َููฑْูุนَٰู َِِููู ุนَََْูููุง َููฑْูู ُุคَََّููุฉِ ُُูููุจُُูู ْ َِููู ูฑูุฑَِّูุงุจِ َููฑْูุบَٰุฑِู َِูู َِููู ุณَุจِِูู ูฑَِّููู َููฑุจِْู ูฑูุณَّุจِِูู ۖ َูุฑِูุถَุฉًۭ ู َِّู ูฑَِّููู ۗ َููฑَُّููู ุนَِููู ٌ ุญَِููู ٌۭ
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil (pengelola zakat), para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan…"
(QS. At-Taubah: 60)
---
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Di sisi lain, pajak dalam sistem kapitalis adalah sumber utama pendapatan negara. Pajak dibebankan kepada rakyat untuk membiayai pengeluaran negara, mulai dari infrastruktur hingga membayar utang luar negeri yang terus membengkak. Saat ini, pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang tentu saja semakin menekan rakyat kecil.
Mengapa pajak terus dinaikkan? Salah satu alasannya adalah utang negara yang sudah menggunung, ditambah dengan bunga (riba) yang harus dibayar.
Riba adalah jantung dari sistem ekonomi kapitalis, yang menyebabkan negara semakin terjerat dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan. Rasulullah ๏ทบ telah dengan tegas mengharamkan riba:
> َูุนََู ุงَُّููู ุขَِูู ุงูุฑِّุจَุง َูู َُُِูููู ََููุงุชِุจَُู َูุดَุงِูุฏَِْูู، ََููุงَู ُูู ْ ุณََูุงุกٌ
"Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya."
(HR. Muslim)
Lebih dari itu, dalam Islam, pajak (dalam bentuk yang membebani rakyat) sebenarnya tidak diperbolehkan, karena sumber pendapatan negara seharusnya berasal dari:
✔ Zakat dari kaum Muslimin yang mampu.
✔ Jizyah dari non-Muslim yang tinggal di negara Islam.
✔ Kharaj (pajak tanah dari wilayah taklukan).
✔ Pengelolaan sumber daya alam yang melimpah.
---
Indonesia Kaya, Tapi Masih Mengandalkan Pajak?
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan sumber daya alam. Dari tambang emas, minyak, gas, hingga hasil laut yang melimpah. Seharusnya, pendapatan negara cukup dengan mengelola kekayaan ini untuk kesejahteraan rakyat.
Namun, dalam sistem kapitalis, sumber daya alam justru banyak dikuasai oleh korporasi asing, sedangkan rakyat malah dipalak dengan pajak.
Parahnya lagi, pajak yang sudah dikumpulkan dari rakyat malah dikorupsi oleh pejabat yang rakus! Baru-baru ini, Indonesia diguncang oleh kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp 271 triliun, serta dugaan korupsi di PT Pertamina yang menyebabkan kerugian sekitar Rp 193,7 triliun per tahun!
Bayangkan, uang sebanyak itu lenyap begitu saja akibat korupsi! Rakyat dipaksa bayar pajak, tapi hasilnya malah masuk kantong pejabat yang serakah! Itulah bobroknya sistem kapitalisme dan sekuler!
Coba kalau sistem Islam diterapkan, tidak akan ada pajak yang membebani rakyat, karena pendapatan negara cukup dari zakat dan pengelolaan sumber daya alam yang transparan dan adil. Rasulullah ๏ทบ bersabda:
> َูุง َูุฏْุฎُُู ุงْูุฌََّูุฉَ ุตَุงุญِุจُ ู َْูุณٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim)
Di zaman keemasan Islam, negara tidak mengandalkan pajak rakyat sebagai sumber utama pendapatan. Khalifah Umar bin Khattab bahkan pernah menghapus pajak yang membebani rakyat jika negara memiliki cukup pemasukan dari sumber lain.
---
Solusi Islam: Kembali ke Zakat dan Pengelolaan SDA yang Adil
Jika sistem Islam diterapkan, maka pajak yang menekan rakyat bisa dihapuskan. Negara cukup mengelola zakat dan kekayaan alam dengan adil untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian:
✔ Tidak ada beban pajak yang berat bagi rakyat.
✔ Tidak ada riba yang membuat negara semakin terpuruk.
✔ Kesejahteraan rakyat bisa terjamin tanpa eksploitasi kapitalis.
Menjelang Idul Fitri, mari kita tunaikan zakat fitrah sebagai wujud kepedulian kepada sesama. Dan di saat yang sama, mari kita terus mengingatkan bahwa solusi ekonomi terbaik adalah kembali kepada sistem Islam yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Wallahu A'lam.
Posting Komentar untuk "Zakat vs Pajak: Kewajiban yang Berbeda dalam Islam dan Kapitalisme"