✨By Kyai. Abdul Rosyad (Pak Osad)✨
Dalam ajaran Islam, iman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap Muslim. Qadha adalah ketetapan Allah yang telah ditentukan sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah perwujudan dari ketetapan tersebut dalam kehidupan nyata. Namun, ada beberapa hal yang dalam pembahasan qadha dan qadar sebaiknya tidak dipertanyakan secara mendalam, karena hal itu menyangkut perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah. Empat hal tersebut adalah pagawean (perbuatan manusia), iradah Allah (kehendak Allah), ilmu Allah, dan Lauh Mahfuzh.
Allah ๏ทป berfirman dalam Al-Qur'an:
"َูุง ُูุณْุฆَُู ุนَู َّุง َْููุนَُู َُููู ْ ُูุณْุฆََُููู"
"Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya." (QS. Al-Anbiya: 23)
Dari ayat ini, jelas bahwa manusia tidak berhak mempertanyakan kehendak dan ketetapan Allah. Menggali terlalu dalam tentang hal-hal yang di luar batas pemahaman manusia bisa membawa kepada keraguan atau bahkan kesesatan. Oleh karena itu, sikap terbaik adalah menerima dengan penuh keimanan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak dan ilmu Allah yang Maha Luas.
1. Perbuatan (Pagawean) Manusia
Salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam pembahasan qadha dan qadar adalah sejauh mana manusia memiliki kebebasan dalam berbuat. Ahlusunnah wal Jama'ah meyakini bahwa manusia memiliki kehendak untuk memilih perbuatan baik atau buruk, tetapi tetap dalam koridor takdir Allah. Ini sebagaimana firman Allah:
"َูู َุง ุชَุดَุงุกَُูู ุฅَِّูุง ุฃَْู َูุดَุงุกَ ุงَُّููู ุฑَุจُّ ุงْูุนَุงَูู َِูู"
"Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir: 29)
Kelompok Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kehendak sama sekali dan seluruh perbuatannya murni dipaksakan oleh Allah. Sebaliknya, Qadariyah berpendapat bahwa manusia bebas sepenuhnya menentukan perbuatannya tanpa campur tangan Allah. Namun, Ahlusunnah menengahi dengan konsep bahwa manusia berusaha, tetapi Allah yang menentukan hasil akhirnya.
2. Kehendak (Iradah) Allah
Kehendak Allah mencakup segala sesuatu yang terjadi di alam semesta. Segala kejadian yang sudah, sedang, dan akan terjadi telah Allah tetapkan. Ini sesuai dengan firman-Nya:
"ุฅَِّู ุงََّููู َْููุนَُู ู َุง َูุดَุงุกُ"
"Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Hajj: 18)
Manusia tidak boleh mempertanyakan mengapa Allah menghendaki sesuatu terjadi, karena ilmu manusia sangat terbatas dibandingkan dengan ilmu Allah. Sikap terbaik adalah menerima segala ketetapan-Nya dengan sabar dan tawakal.
3. Ilmu Allah
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah terjadi. Tidak ada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya. Dalam Al-Qur'an disebutkan:
"َูุนِูุฏَُู ู ََูุงุชِุญُ ุงْูุบَْูุจِ َูุง َูุนَْูู َُูุง ุฅَِّูุง َُูู"
"Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri." (QS. Al-An'am: 59)
Segala sesuatu yang manusia lakukan sudah diketahui oleh Allah, tetapi bukan berarti Allah memaksa manusia untuk berbuat demikian. Pengetahuan Allah tidak meniadakan kebebasan manusia dalam memilih perbuatannya.
4. Lauh Mahfuzh
Lauh Mahfuzh adalah tempat Allah mencatat segala ketetapan yang akan terjadi di alam semesta. Apa yang tertulis di dalamnya tidak akan berubah, karena semua sudah ditetapkan dengan ilmu dan kebijaksanaan Allah.
"ุจَْู َُูู ُูุฑْุขٌู ู َّุฌِูุฏٌ، ِูู َْููุญٍ ู َّุญُْููุธٍ"
"Bahkan (yang didustakan itu) adalah Al-Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh." (QS. Al-Buruj: 21-22)
Maka, mempertanyakan apa yang ada di Lauh Mahfuzh sama saja dengan mempertanyakan ketetapan Allah, yang merupakan bentuk kebodohan manusia terhadap hakikat takdir.
Kesimpulan: Sikap yang Benar terhadap Qadha dan Qadar
Dalam memahami qadha dan qadar, sikap yang paling tepat adalah menerima dengan keimanan tanpa mempertanyakan sesuatu yang berada di luar batas pemahaman manusia. Rasulullah ๏ทบ bersabda:
"ู َْู ุฃَุญْุฏَุซَ ِูู ุฃَู ْุฑَِูุง َูุฐَุง ู َุง َْููุณَ ู ُِْูู ََُููู ุฑَุฏٌّ"
"Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian darinya, maka itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa agama harus dipahami sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah ๏ทบ, tanpa menambah atau menguranginya. Begitu pula dalam memahami qadha dan qadar, kita harus berpegang teguh pada pemahaman yang diajarkan oleh Ahlusunnah wal Jama'ah, tanpa terjerumus ke dalam pemikiran Qadariyah atau Jabariyah.
Akhirnya, iman kepada qadha dan qadar harus diwujudkan dalam kehidupan dengan sikap tawakal, sabar, dan tetap berusaha melakukan yang terbaik. Kita berikhtiar dengan sungguh-sungguh, tetapi tetap yakin bahwa hasil akhirnya berada dalam ketetapan Allah. Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "Qadha dan Qadar: Antara Iman dan Pemahaman"