Ketika Pengacara Bertikai: Bukti Lemahnya Hukum Buatan Manusia, Saatnya Kembali pada Khilafah‼️

Selasa, 12 Sya'ban 1446 H / 11 Februari 2025 M
🗓️Kalender Global Muhammadiyah

Baru-baru ini, perseteruan antara Hotman Paris dan Razman Arif di gedung DPR kembali menjadi sorotan publik. Perdebatan panas antara dua pengacara kondang ini mencerminkan bagaimana sistem hukum yang diterapkan di negeri ini penuh dengan ketidakjelasan dan kepentingan. Jika para pakar hukum saja bisa berselisih dengan keras tentang suatu perkara, bagaimana dengan rakyat biasa yang tidak memiliki akses terhadap pengacara mahal dan koneksi politik? Ini adalah bukti nyata bahwa hukum buatan manusia selalu memiliki cacat dan kelemahan.


Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat oleh manusia berdasarkan kesepakatan dan kepentingan politik tertentu. Tidak jarang, hukum yang disahkan lebih menguntungkan pihak tertentu daripada menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat. Para wakil rakyat yang duduk di parlemen sering kali lebih memikirkan kepentingan pribadi atau kelompok dibandingkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam, yang menetapkan hukum berdasarkan wahyu Allah, bukan kepentingan manusia.


Allah berfirman dalam Al-Qur’an:


إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ


"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. Yusuf: 40)


Ayat ini menegaskan bahwa hukum sejati adalah hukum yang berasal dari Allah, bukan dari manusia yang penuh dengan keterbatasan dan kepentingan pribadi.


Di dalam Islam, hukum tidak dibuat berdasarkan musyawarah politik atau kepentingan segelintir orang, tetapi ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum dalam Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan mutlak, bukan sekadar hukum yang bisa dinegosiasikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Sayangnya, dalam sistem saat ini, hukum sering kali berpihak kepada mereka yang kaya dan berpengaruh, sementara rakyat kecil harus menerima ketidakadilan dengan pasrah.


Nabi Muhammad ﷺ bersabda:


إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ، وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا


"Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya. Namun, jika orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini menunjukkan bahwa dalam Islam, hukum ditegakkan secara adil tanpa pandang bulu, baik terhadap orang kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat biasa. Bandingkan dengan kondisi saat ini, di mana hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.


Kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat dan orang kaya sering kali berlarut-larut tanpa kejelasan, sementara rakyat kecil bisa langsung dihukum dengan cepat. Banyak kasus korupsi bernilai triliunan rupiah yang hanya berujung pada hukuman ringan, sementara pencuri kecil bisa langsung dipenjara bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan betapa sistem hukum buatan manusia penuh dengan ketidakadilan dan celah yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan.


Dalam sistem Islam, pemimpin bertanggung jawab langsung kepada Allah dalam menegakkan hukum. Mereka tidak bisa sembarangan membuat atau mengubah hukum sesuai kepentingan pribadi. Dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana para khalifah menerapkan hukum dengan penuh tanggung jawab dan keadilan. Contohnya, Khalifah Umar bin Khattab pernah membebaskan rakyat dari hukuman potong tangan karena kelaparan yang melanda saat itu. Keputusan ini diambil bukan karena kepentingan politik, tetapi karena mempertimbangkan keadilan yang hakiki dalam Islam.


Kisruh hukum yang terjadi di gedung DPR ini hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa sistem hukum buatan manusia tidak akan pernah sempurna. Selama hukum dibuat berdasarkan kepentingan segelintir orang, keadilan tidak akan pernah benar-benar tegak. Oleh karena itu, umat Islam harus menyadari bahwa hanya hukum Allah yang benar-benar bisa memberikan keadilan sejati.


Allah berfirman:


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ


"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (QS. Al-Ma'idah: 45)


Lebih dari itu, Rasulullah ﷺ juga telah memperingatkan dalam hadisnya:


مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


"Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka amal tersebut tertolak." (HR. Muslim)


Hadis ini menegaskan bahwa setiap sistem atau hukum yang tidak bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah adalah tertolak. Jika hukum buatan manusia terus menjadi pedoman, maka keadilan sejati tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya, hukum Islam menjamin keadilan bagi semua pihak tanpa diskriminasi.


Sudah saatnya umat Islam kembali kepada hukum yang berdasarkan syariat Islam, bukan hukum buatan manusia yang penuh dengan kelemahan dan ketidakadilan. Jika kita ingin melihat keadilan yang hakiki, kita harus memperjuangkan sistem yang menjadikan hukum Allah sebagai pedoman utama.


Semoga kejadian ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa tanpa hukum Islam, keadilan tidak akan pernah benar-benar ditegakkan. Kita harus terus berjuang agar Islam kembali menjadi pedoman dalam kehidupan, sehingga hukum yang diterapkan benar-benar membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.


Takbir! Allahu Akbar!

Posting Komentar untuk "Ketika Pengacara Bertikai: Bukti Lemahnya Hukum Buatan Manusia, Saatnya Kembali pada Khilafah‼️"