Seperti kita ketahui, bahwa hampir di setiap kota yang ada di Nusantara—khususnya ing tanah Jawi seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur—pasti memiliki Alun-Alun sebagai titik pusat kota dan tempat berkumpulnya masyarakat. Tak hanya sekadar taman kota, alun-alun sebenarnya memiliki sejarah dan filosofi yang dalam, terutama yang berkaitan erat dengan Islam dan warisan Kesultanan Islam masa lampau.
Kalau kita menelusuri kota-kota tua di bekas wilayah Kerajaan Mataram Islam seperti Yogyakarta, Surakarta (Solo), Klaten, Purworejo, Kebumen, sampai Purwokerto, kita akan menemukan pola yang hampir sama:
Di tengah alun-alun biasanya ada pohon beringin.
Contohnya di Yogyakarta, ada dua pohon beringin kembar yang dikenal dengan “Waringin Kurung”.
Di sebelah barat alun-alun pasti ada Masjid Agung, misalnya Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Lalu tak jauh dari situ terdapat kraton (istana), pasar, dan juga kantor pemerintahan.
Ini bukanlah desain sembarangan. Ini merupakan tata kota Islam yang dirancang penuh makna. Menurut berbagai sumber sejarah, salah satu tokoh Walisongo, yaitu Sunan Kalijaga, adalah arsitek spiritual di balik tata ruang kota-kota Islam di Jawa. Beliau tak hanya ulama dan dai, tapi juga dikenal sebagai arsitek budaya dan tata kota, dengan visi Islam yang holistik dan menyeluruh.
🕌 Filosofi Tata Kota Alun-Alun
Tata letak alun-alun yang menghadap masjid dan istana mencerminkan keterpaduan antara agama, kekuasaan, dan rakyat. Dalam sistem Islam, masjid adalah pusat spiritual dan pendidikan. Istana adalah simbol kekuasaan yang semestinya tunduk pada hukum Allah. Sedangkan pasar menunjukkan aktivitas ekonomi yang terikat pada nilai syariat.
Alun-alun pun berfungsi sebagai media interaksi sosial umat Islam, tempat pengumuman resmi, hingga pelaksanaan hukuman syar'i. Dalam sistem hukum Islam yang dulu diterapkan di tanah Jawa, alun-alun kadang digunakan untuk mengeksekusi hukuman hadd seperti rajam bagi pezina yang sudah menikah atau cambuk bagi yang belum. Itu semua dilakukan terbuka di depan umum, agar menjadi ibrah dan pelajaran bagi masyarakat.
🌈 Makna Kata "Alun-Alun" dari Bahasa Arab?
Kata "Alun-Alun" diyakini berasal dari bahasa Arab الْوَن الْوَن (dibaca: alwan alwan) yang berarti warna-warni atau bermacam-macam. Hal ini melambangkan bahwa alun-alun adalah tempat segala aktivitas manusia yang berwarna-warni: ibadah, perdagangan, pengadilan, hingga edukasi dan interaksi sosial.
🌍 Keterkaitan dengan Khilafah Utsmaniyah
Perlu diketahui, bahwa dahulu Kraton Yogyakarta bukanlah kerajaan mandiri seperti sekarang. Ia menjadi bagian dari jaringan kekhilafahan Islam dunia, yaitu Khilafah Utsmaniyah. Bahkan ada dokumen sejarah yang menunjukkan bahwa Sultan Hamengkubuwono pernah bersurat dan menjalin hubungan dengan Khalifah Utsmani di Istanbul.
Meski kini banyak yang mencoba menghapus jejak sejarah ini, namun fakta sejarah tak bisa dihapuskan. Semakin ditutupi, justru semakin jelas bahwa Islam pernah berjaya membangun peradaban yang teratur, adil, dan beradab—termasuk dalam urusan tata ruang kota!
---
📜 Dalil Pentingnya Menegakkan Hukum Allah:
قَالَ تَعَالَى:
> “وَمَن لَمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ”
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”
(QS. Al-Ma'idah: 44)
---
♡ Hikmah & Harapan ♡
Alun-alun jangan hanya jadi tempat nongkrong atau pacaran, apalagi maksiat.
Kita perlu melestarikan fungsi aslinya sebagai simbol peradaban Islam, bukan sekadar ruang terbuka hijau.
Mari kita angkat kembali tata kota Islam agar umat sadar bahwa Islam itu sempurna dan menyeluruh—dari masjid, istana, hingga pasar dan ruang publik lainnya.
Saatnya kita menghargai warisan Islam di Nusantara, bukan malah menghapus atau menistakannya.
---
Wallahu a’lam bishshawab.
Takbir! Allahu Akbar!
Posting Komentar untuk "Sekilas tentang Alun-Alun / الون الون yang ada di Nusantara"