✨By Ust. Mogey📝Kajian Obsesi (Obrolan Seputar Islam)✨
Kamis, 21 Sya'ban 1446 H / 20 Februari 2025 M🗓️Kalender Global Muhammadiyah
Dalam Islam, politik atau siyasah bukanlah sekadar perebutan kekuasaan, melainkan tanggung jawab mengurus urusan umat. Politik dalam Islam adalah tugas agung yang bahkan lebih utama dibandingkan ibadah ritual. Sebab, seorang pemimpin dalam Islam diibaratkan sebagai ro'in (penggembala) yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari & Muslim)
Seorang penguasa yang benar akan melihat kebijakan mana yang membawa kemaslahatan bagi umat, bukan hanya kepentingan pribadinya. Berbeda dengan konsep demokrasi modern, yang cenderung lebih banyak menguras rakyat daripada mengurus mereka. Ketika hukum Islam tidak diterapkan, maka menjadi fardu 'ain bagi setiap Muslim untuk memperjuangkannya.
Namun, ada sekelompok manusia yang merasa lebih baik dari Tuhan dengan menetapkan hukum berdasarkan akal dan hawa nafsu mereka. Padahal, dalam Islam, ada wilayah yang bisa dimusyawarahkan dan ada wilayah yang sudah ditetapkan sebagai hukum Allah yang tidak boleh diubah. Jika semua hal bisa dimusyawarahkan, maka itu sama saja dengan mengubah hukum Allah. Inilah makna dari tauhid لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ, yang memiliki konsekuensi bahwa hanya Allah satu-satunya yang berhak membuat hukum.
Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur'an:
ٱتَّخَذُوا۟ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَـٰنَهُمْ أَرْبَابًۭا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلْمَسِيحَ ٱبْنَ مَرْيَمَ وَمَآ أُمِرُوا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ إِلَـٰهًۭا وَٰحِدًۭا ۖ لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَـٰنَهُۥ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan juga Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At-Taubah: 31)
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menjadikan manusia sebagai sumber hukum selain Allah, maka ia telah mempersekutukan-Nya. Hal ini juga dipertegas dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, di mana Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani menjadikan pemuka agama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dengan menaati mereka dalam perkara yang bertentangan dengan hukum-Nya.
Pertanyaannya, hukum yang berlaku saat ini, apakah berasal dari Allah atau dari manusia? Allah telah menegaskan dalam Al-Qur'an:
إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
"Hukum itu hanyalah milik Allah." (QS. Yusuf: 40)
Orang yang menolak hukum Allah sering kali memiliki dua alasan: kesombongan atau menolak kebenaran. Padahal, hukum Allah adalah yang terbaik dan penuh hikmah, sebagaimana firman-Nya:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak kamu sukai. Tetapi boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)
Dalam sistem demokrasi, segala sesuatu bisa dimusyawarahkan, termasuk perkara yang seharusnya merupakan hak prerogatif Allah. Padahal, mempersekutukan Allah dalam hukum adalah bentuk kedzaliman yang besar, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Luqman ayat 13 dan dalam tafsir Ibnu Katsir.
Sebagian orang beranggapan bahwa menggunakan hukum Islam boleh dan menggunakan hukum selain Islam juga boleh. Ini menunjukkan seolah-olah ada hukum yang lebih baik daripada hukum Allah. Pandangan seperti ini berbahaya, karena menganggap hukum Islam tidak relevan adalah bentuk kekufuran. Allah berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَـٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَـٰئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al-Bayyinah: 6)
Dalam kehidupan modern, kita melihat bagaimana undang-undang yang dibuat lebih sering menguntungkan para penguasa dan elite politik daripada masyarakat umum. Bahkan, ada peringatan dalam Islam agar kita tidak condong kepada orang-orang yang dzalim:
وَلَا تَرْكَنُوٓا۟ إِلَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ فَتَمَسَّكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ مِنْ أَوْلِيَآءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS. Hud: 113)
Perubahan sistem tidak cukup hanya dengan mengganti rezim atau pemimpin. Tanpa mengganti sistemnya dengan hukum Allah, kezaliman akan terus berulang. Inilah mengapa kita perlu memahami bahwa politik dalam Islam adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Bulan Ramadhan, sebagai bulan turunnya Al-Qur'an, seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, termasuk dalam urusan politik dan hukum. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan yang Allah turunkan agar kehidupan ini lebih adil dan berkah. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk tetap berpegang teguh pada hukum Allah dan tidak tertipu oleh sistem yang menolak hukum-Nya. اللهم ثبتنا على دينك – Ya Allah, tetapkanlah kami di atas agamamu.
Posting Komentar untuk "Manusia tandingan Tuhan"