Kajian Obsesi (Obrolan Seputar Islam) di Masjid Ath-Thahiriyyah, Bojonghuni, kel. Maleber Ciamis, malam Jum’at ini, 14 Dzulhijjah 1446 H, diisi oleh Ust. Dimas, membahas tema yang cukup menarik dari syukur nyambung pada ketaatan. Ust. Dimas mengawali dari “Alhamdulillāhi Rabbil ‘Ālamīn.”
Begitulah kalimat pembuka yang seharusnya penuh makna, bukan sekadar formalitas atau basa-basi dalam muqaddimah. Ustadz Dimas mengingatkan, jangan sampai kalimat ini diucapkan tanpa makna, apalagi sampai dilalaworakeun (diabaikan). Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat agar syukur kita benar-benar bernilai di sisi Allah: pertama, mengakui bahwa seluruh nikmat hanya datang dari Allah (tasdiq); kedua, mengucapkannya secara lisan dengan kalimat “Alhamdulillah”; dan ketiga, menjadikannya buah dalam bentuk ketaatan.
Maka, jangan sampai lisan berkata “Alhamdulillah” sementara tubuh justru digunakan untuk bermaksiat. Syukur tanpa ketaatan bukanlah syukur yang sejati. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala berfirman:
> وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
*“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)
Ustadz Dimas juga menyampaikan bahwa banyak orang lupa bersyukur karena tiga hal: terlalu sering diberi nikmat, karena nikmat itu datang tanpa ikhtiar (seperti udara dan air), dan karena lebih fokus pada nikmat orang lain. Inilah yang melemahkan rasa syukur dan menjauhkan kita dari ketaatan.
Padahal, siapa yang bertakwa dan taat kepada Allah, pasti diberi solusi. Allah berfirman:
> وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًۭا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath-Thalaq: 2–3)
Kajian dilanjut dengan kisah Nabi Ibrahim AS, karena masih bertepatan dengan bulan Dzulhijjah. Diceritakan bagaimana Siti Hajar bersabar dalam ikhtiar mencari air untuk Ismail kecil, hingga akhirnya datang pertolongan Allah. Nabi Ibrahim juga mengajak anaknya Ismail berdialog sebelum melaksanakan perintah menyembelih:
> فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail) menjawab: “Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Dialog ini menunjukkan pentingnya komunikasi dalam keluarga, termasuk saat mendidik anak tentang iman dan ketaatan. Nabi Ibrahim juga berdoa:
> رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّـٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍۢ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (qurrata a'yun), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Sudahkah kita menjadi qurrata a’yun bagi pasangan dan keluarga kita? Atau justru menjadi sumber masalah karena tidak mendidik diri dalam ketaatan?
Ustadz Dimas juga menekankan bahwa ketaatan tidak boleh ditunda-tunda dan tidak boleh ditawar-tawar. Iman yang kokoh lahir dari syukur dan ketaatan yang nyata. Jangan menjadi seperti di "prasmanan", hanya mengambil syariat yang disukai dan membuang yang tidak sesuai hawa nafsu. Bahkan, amar ma’ruf dan nahi munkar pun harus disampaikan meskipun berat.
> وَإِذْ قَالَ لُقْمَـٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَـٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌۭ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya: ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13)
---
♧ Hikmah & Harapan ♧
Selama kita masih hidup, hayu ngaji! Selagi napas masih ada, hayu dakwah! Mari kita ajak saudara-saudara kita yang masih terjebak dalam maksiat dan kehidupan sekuler. Jangan tunggu sempurna untuk berdakwah, karena dakwah adalah tanda kasih sayang kita kepada umat.
Sampaikanlah apa yang harus didengar, bukan sekadar apa yang ingin didengar. Peduli terhadap urusan masyarakat, bukan sibuk dengan urusan pribadi saja. Mari jadikan syukur kita bukan sekadar di lisan, tapi nyata dalam ketaatan dan perjuangan menegakkan Islam kaffah.
Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita dalam istiqomah, syukur, dan ketaatan. Aamiin.
> وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِٱلصَّوَابِ
Posting Komentar untuk "Dari Syukur Menuju Ketaatan"