Akhir-akhir ini banyak yang belum menyadari bahwa akar masalah umat Islam saat ini bukan hanya perbedaan dalam fiqih, tetapi lebih kepada POLITIK. Salah satu contoh nyata adalah ketika terjadi penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Perbedaan yang paling mencolok sebenarnya bukan soal sekadar metode hisab atau rukyat, tetapi lebih kepada sistem politik yang dianut oleh masing-masing negara. Muhammadiyah sebelumnya telah merilis Kalender Islam Global atau Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) dan mulai digunakan sejak awal tahun baru 1446 Hijriyah. Hal ini sempat menarik perhatian banyak pihak, termasuk Ustadz Doni Riw seorang cendekiawan Muslim asal Yogyakarta.
Dalam salah satu kajiannya di media sosial, Ustadz Doni Riw menegaskan bahwa Kalender Islam memang seharusnya bersifat global, bukan nasionalis. Beliau mengatakan, "Muslim itu satu tubuh, hari rayanya satu, aqidahnya satu." Pernyataan ini memperlihatkan bahwa umat Islam seharusnya memiliki kalender yang menyatukan, bukan yang malah memperkuat perbedaan akibat batasan negara, maka dengan Kalender Islam Global atau Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) yang dirilis Muhammadiyah ini bisa menjadi solusi mengatasi perbedaan penetapan hari raya karena kalender ini mengandung prinsip satu hari satu tanggal hampir sama dengan konsep Rukyat Global yang ditabani oleh Hizbut Tahrir. Dalam Islam, penetapan waktu-waktu ibadah seperti puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha sebenarnya ada dalil-dalil yang harus diikuti yaitu rukyat, sebagaimana disebutkan dalam hadits: "صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ" ("Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika tertutup awan, maka sempurnakan bulan menjadi 30 hari.") (HR. Bukhari & Muslim).
Namun, yang menjadi persoalan saat ini adalah rukyat masih bersifat nasional, tidak global. Pemerintah dan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia masih menggunakan metode rukyat yang terbatas pada wilayahnya sendiri, tanpa mempertimbangkan bahwa umat Islam itu ada di seluruh dunia bukan cuma di Indonesia ajah loh. Padahal, umat Islam bukan hanya dari Merauke sampai Sabang, tetapi juga dari Merauke sampai Maroko. Jika rukyat dilakukan secara global, maka perbedaan dalam penentuan hari besar Islam dapat diminimalisir. Saat ini Muhammadiyah dengan Hisab Globalnya yaitu Kalender Globalnya atau KHGT maka seharusnya NU pun dengan Rukyat Globalnya, maka ini jika dipadukan akan menghasilkan satu kesatuan yang justru bisa saling melengkapi tanpa berbenturan!. Begitulah kata ust. Doni Riw.
Sebelumnya, Muhammadiyah telah mencoba menerapkan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT) yang menggunakan hisab global menggantikan Wujudul Hilal (WH) yang sifatny wilayatul hukmi atau lokal (nasionalis). Dalam kalender ini, Ramadhan berlangsung selama 29 hari karena cakupannya adalah seluruh dunia. Hal ini sejalan dengan hasil Rukyat Global yang dilakukan oleh kelompok Hizbut Tahrir, yang menyatakan bahwa 1 Syawal 1446 H jatuh pada Ahad, 30 Maret. Namun, secara mengejutkan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat menjelang Ramadhan kemaren saat bulan Februari ehh tiba² malah kembali menggunakan metode Wujudul Hilal yang cakupannya bersifat lokal atau Wilayatul Hukmi (nasional). Akibatnya, perhitungan Muhammadiyah kembali berbeda dengan Kalender Islam Global yang telah mereka sosialisasikan sebelumnya. Pada KHGT Ramadhan berlangsung 29 hari & lebaran jatuh pada Ahad, 30 Maret 2025 sementara dalam Wujudul Hilal (WH) Ramadhan berlangsung 30 hari karena cakupannya lokal atau wilayatul hukmi, dalam data WH tersebut tertulis Hilal belum terlihat di Indonesia sehingga diistikmalkan menjadi 30 hari dan 1 Syawwal jatuh pada Senin, 31 Maret 2025, padahal sebelumnya Muhammadiyah sesuai maklumatnya sudah fix Ramadhan akan berlangsung 29 hari sesuai KHGT eh ini tiba² malah balik lagi pake WH dan Ramadhan berlangsung 30 hari, akhirnya lebaran Idul Fitri Muhammadiyah bareng dengan Pemerintah, sangat disayangkan padahal belum tentu juga bakal bareng dengan negeri negeri Muslim lainnya khususnya Timur Tengah, hingga akhirnya terbukti Muhammadiyah telat 1 hari lebarannya sedangkan Arab Saudi sudah merayakan pada Ahad 30 Maret kemaren, coba kalo maklumat penetapan tersebut tidak dirubah, kepikir kan? Jelas ada kepentingan politik.!
Wujudul Hilal ini mirip dengan metode imkan rukyat yang digunakan oleh NU dan Persatuan Islam (Persis). Bedanya, Wujudul Hilal hanya mensyaratkan ketinggian hilal minimal 0,5 derajat untuk menetapkan bulan baru, sementara metode imkan rukyat menggunakan kriteria yang lebih tinggi. Sayangnya, dengan kembali menggunakan metode ini, Muhammadiyah kembali bersikap nasionalis dalam penentuan hari raya. Ini mengecewakan banyak pihak termasuk kulo pribadi! yang sebelumnya berharap Muhammadiyah bisa benar-benar menerapkan sistem kalender global malah balik lagi Nasionalis, jelas ini mah ada kepentingan politik dengan rezim!
Dari sini jelas bahwa masalah utama dalam perbedaan penetapan hari raya ini sebenarnya bukan pada metode hisab atau rukyatnya gaes!!, tetapi pada politik & nasionalisme. Pemerintah Indonesia, NU, dan bahkan Muhammadiyah masih terikat pada batas negara padahal tadinya Muhammadiyah sudah berfikir global eh malah jadi nasionalis lagi!, padahal umat Islam seharusnya satu tubuh. Seandainya baik itu hisab atau rukyat dilakukan secara global, maka umat Islam di seluruh dunia bisa merayakan hari raya secara bersamaan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Namun, karena masih ada sekat nasionalisme, maka perbedaan ini terus terjadi setiap tahun. Dan menariknya lagi katanya KHGT mulai diterapkan Muhammadiyah pada tahun 1447 H besok, mudah²an sih ini beneran benar² diterapkan, tidak plin plen lagi koyok kemaren hehe😅 ntar giliran ada kepentingan politik aja rubah lagi rubah lagi🤦♂️😅.
Nasionalisme ini juga yang menyebabkan umat Islam sulit bersatu dalam berbagai aspek lainnya. Contoh nyata adalah Palestina. Selama bertahun-tahun, saudara Muslim kita di Palestina dibantai oleh Zionis Israel, namun dunia Islam seolah tak berdaya. Negara-negara Muslim di sekitar Palestina termasuk Arab tidak memberikan bantuan yang signifikan karena terikat dengan batasan negara dan kepentingan politik masing-masing. Nasionalisme telah menjadikan umat Islam terpecah-belah dan kehilangan kekuatan globalnya.
Dalam kitab Nizhomul Islam, dijelaskan bahwa nasionalisme adalah ikatan yang paling lemah dan rapuh. Ikatan ini membuat umat Islam lebih mementingkan negaranya sendiri dibanding kepentingan umat secara keseluruhan. Selain itu, sistem kapitalis yang diterapkan saat ini semakin memperparah kondisi umat. Kekayaan umat Islam dirampas oleh oligarki dan negara-negara Barat, sementara sistem sekuler terus berusaha memisahkan agama dari kehidupan (fashluddin 'anil hayah). Inilah akar permasalahan sebenarnya yang harus disadari oleh kaum Muslimin!
Maka dari itu, sudah saatnya umat Islam mulai berpikir global dan tidak lagi terjebak dalam sekat-sekat nasionalisme. Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk politik. Umat Islam harus menyadari bahwa tanpa sistem Islam yang menyeluruh, termasuk dalam aspek politik dan pemerintahan, maka perpecahan akan terus terjadi. Kita tidak bisa hanya fokus pada ibadah ritual semata tanpa memikirkan bagaimana sistem yang mengatur kehidupan kita.
Semoga semakin banyak umat Islam yang sadar dan berpikir kritis terhadap permasalahan ini. Dengan pemahaman yang benar, insyaAllah kita bisa kembali bersatu dan membangun kejayaan Islam. Sistem kapitalis sekuler akan segera tumbang, dan Islam akan kembali berjaya. Allahu Akbar! 🔥
Posting Komentar untuk "Pentingnya Pemahaman🧠, Ketika Ada Saudara kita yang Belum Paham❓👨🏫"