Masjid Jogokariyan di Yogyakarta adalah contoh nyata bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat kebangkitan peradaban Islam. Masjid ini selalu dipenuhi jamaah, bahkan sholat Subuh di sini serasa sholat Jum’at atau bahkan sholat Id, karena melubernya jamaah hingga ke jalan. Namun, tahukah kita bahwa dulu kampung Jogokariyan bukanlah lingkungan yang religius seperti sekarang?
Dahulu, kampung Jogokariyan dikenal sebagai basis masyarakat abangan atau Kejawen, dengan budaya yang kental dengan adat istiadat Jawa dan memiliki keterkaitan dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di masa lalu, ajaran Islam di daerah ini masih bercampur dengan tradisi lokal yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam murni. Maka, ketika Muhammadiyah melalui Ranting Muhammadiyah Karangkajen mendirikan Masjid Jogokariyan pada tahun 1966, tantangannya cukup besar. Dakwah Islam harus dijalankan dengan strategi yang tepat agar masyarakat dapat menerimanya tanpa merasa terpaksa atau dipaksa.
Nama Jogokariyan sendiri bukanlah sembarangan. Nama ini diambil dari nama kampung setempat, sebagaimana Rasulullah ﷺ menamai Masjid Quba sesuai dengan nama kampung Quba. Filosofi ini mengikuti sunnah Nabi, bahwa masjid harus terasa dekat dengan masyarakat dan menjadi identitas mereka. Dengan nama yang familiar, masyarakat diharapkan lebih merasa memiliki dan nyaman untuk datang ke masjid.
Seiring berjalannya waktu, Masjid Jogokariyan mulai dikenal karena sistem pengelolaannya yang unik dan profesional. Konsep kas nol rupiah, di mana semua dana yang masuk ke masjid langsung disalurkan untuk kemaslahatan umat, menjadi daya tarik tersendiri. Masjid ini juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti ATM Beras untuk kaum dhuafa, pemberdayaan ekonomi umat melalui UMKM, hingga program edukasi Islam yang menarik bagi anak muda.
Selain itu, ada satu momen spesial yang membuat Masjid Jogokariyan semakin dikenal luas, yaitu Kampung Ramadhan Jogokariyan (KRJ). Setiap bulan Ramadhan, masjid ini tidak hanya semakin ramai dengan jamaah yang melaksanakan ibadah, tetapi juga menyediakan ribuan porsi makanan berbuka puasa secara gratis. Suasananya benar-benar hidup, mirip dengan suasana Ramadhan di Makkah dan Madinah. Setiap hari, umat Islam dari berbagai daerah datang untuk berbuka bersama, beribadah, dan merasakan kebersamaan di dalam masjid. Ini adalah bentuk nyata dari semangat berbagi dan kepedulian sosial yang diajarkan dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا"
"Barang siapa memberi makan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun." (HR. Tirmidzi)
Konsep ini sangat sesuai dengan peran masjid pada masa Rasulullah ﷺ. Masjid Nabawi tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat dakwah, pendidikan, ekonomi, bahkan pemerintahan. Islam sejak awal sudah menjadikan masjid sebagai pusat peradaban. Sebagaimana firman Allah:
"إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ فَعَسَىٰ أُو۟لَٰئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ"
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. At-Taubah: 18)
Dari sini kita belajar bahwa kebangkitan Islam dimulai dari masjid. Jika masjid bisa dikelola dengan baik, menarik jamaah, dan memberikan manfaat bagi masyarakat, maka umat Islam akan semakin kuat dan berdaya. Masjid bukan hanya tempat ritual, tetapi pusat perubahan.
Semoga dengan masjid, umat Islam semakin sadar akan pentingnya persatuan dan kebangkitan peradaban Islam. Terutama bagi para pemuda, sudah saatnya kita kembali ke masjid, menimba ilmu, memperkuat ukhuwah, dan berkontribusi bagi Islam. Dari masjid, kita bangkit!
Allahu Akbar!
Posting Komentar untuk "Belajar dari Masjid Jogokariyan: Membangun Peradaban Dimulai dari Masjid"